..




.

Monday, August 30, 2010

Koneksionisme

Menurut teori koneksionisme belajar pada hewan danmanusia pada prinsipnya memiliki kesamaan. Pada dasarnya terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi (bond, conection) antara kesan panca indera (sense impression) dengan kecenderungan untuk bertindak (impuls to action). Proses belajar itu disifatkan sebagai learning by selecting and connecting, dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu.
Pengembangan terhadap teori pengetahuan yang pertama hanya merupakan satu dari begitu banyak sumbangan Edward Thorndike bagi ilmu Psikologi. Ia membuat lebih dari 500 artikel dan banyak buku termasuk statistik uji, praktik pendidikan, riset kelas, pembuatan uji, dan uji khusus dalam tulisan tangan, aritmetika, bacaan, dan lain sebagainya.
Dasar teori Thorndike awalnya dibuat dengan melakukan eksprimen terhadap binatang. Penelitian didisain untuk menentukan apakah binatang mampu “memecahkan” suatu masalah melalui pemikiran atau melalui lebih dari satu proses dasar. Menurut Thorndike, penelitian dibutuhkan karena sedikitnya data obyektif. “Sudah seringkali terjadi peristiwa kehilangan anjing dan tidak ada satu orangpun yang mengumumkannya atau membuat laporan kedalam majalah ilmiah. Namun biarkan seseorang menemukan jalannya dari Brooklyn ke Yonkers dan kenyataannya hal itu menjadi kasus anecdotal yang menggelikan (Thorndike, 1911:24).
Hukum Koneksionisme
Thorndike telah mengemukakan sejumlah hukum pokok dan hukum tambahan. Berikut diuraikan mengenai hukum-hukum pokoknya saja, yaitu:
Law of Readiness
• Ada tiga kondisi yang menunjukkan berlakunya hukum kesiapan, yaitu:
• Bilamana seseorang muncul kecenderungan untuk berbuat/ bertindak, kemudian ia melakukan perbuatan tersebut akan menimbulkan kepuasan dan mengakibatkan tidak dilakukannya perbuatan-perbuatan lain.
• Bilamana seseorang muncul kecenderungan untuk berbuat/ bertindak, kemudia tidak melakukannya akan menimbulkan ketidakpuasan, dan mengakibatkan dilakukannya tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasan itu.
• Bilamana seseorang muncul kecenderungan berbuat/ bertindak, kemudian melakukannya akan menimbulkan ketidakpuasan dan berakibat dilakukannya tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasan tadi.
Dapat disimpulkan bahwa hukum ini menerangkan kesiapan individu untuk melakukan tindakan itu dengan sepenuh hati (kondisi a). Bilamana kesiapan itu tidak ada, maka dia akan melakukan dengan mendua hati (kondisi b). Bila sekiranya telah ada kesiapan dan tidak diberi kesempatan atau mendapatkan rintangan (kondisi c), maka hal tersebut akan menimbulkan gangguan. Impliaksi praktis hukum ini bahwa belajar itu lebih berhasil apabila didasari oleh kesiapan untuk belajar.
Law of exercise
Hukum belajar ini menunjukkan pada menjadi lebih kuatnya koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dan tindakan karena latihan (law of use) dan menjadi lemahnya koneksi-koneksi karena latihan tidak dilanjutkan atau dihentikan (law of disuse).
Prinsip ini menunjukkan bahwa prinsip utama belajar adalah “pengulangan/ ulangan”. Bahwa semakin sering sesuatu pelajaran diulangi, maka makin dikuasai pelajaran tersebut. Di dalam praktiknya tentu terdapat variasi, bukan sembarang ulangan akan membawa perbaikan prestasi. Tetapi pengaturan waktu, distribusi frekuensi ulangan yang dilakukan akan turut menentukan bagaimana hasil belajar itu.
Law of effect
Hukum ini menunjukkan pada semakin kuat atau semakin lemahnya koneksi sebagai akibat dari ahsil perbuatan yang dilakukan. Apabila disederhanakan, maka hukum ini akan dapat dirumuskan demikian: “suatu perbuatan yang disertai atau diikuti oleh akibat yang enak (memuaskan/ menyenangkan) cenderung untuk dipertahankan dan lain kali diulangi, sedang suatu perbuatan yang disertai atu diikuti oleh akibat yang tidak enak (tidak menyenangkan) cenderung untuk dihentikan dan lain kali tidak diulangi”.
Dengan kata lain, hukum ini menunjukkan bagaimana pengaruh hasil perbuatan yang serupa. Misalnya, orang Indonesia umumnya memberi dan menrima sesuatu dari orang lain menggunakan tangan kanan. Kebiasaan ini (kecakapan) adalah hasil dari belajar bertahun-tahun. Pada saat masih kecil, kalau kita ulurkan tangan kanan kita peroleh apa yang kita inginkan (menyenangkan, semacam hadiah), sebaliknya kalau kita ulurkan tangan kiri, kita tidak akan mendapatkan apa yang kita inginkan bahkan ditegur (tidak menyenangkan, semacam hukuman). Semakin lama kalau kita ingin mendapat sesuatu kecenderungan mengulurkan tangan kanan, semakin besar dan kecenderungan mengulurkan tangan kiri semakin kecil.
Implikasi praktisnya bahwa hukum ini adalah mengenai pengaruh hadiah atau hukuman bagi seseorang. Hadiah menyebabkan seseorang terus melakukan perbuatan tertentu dan lain kali mengulanginya, sedangkan hukuman menyebabkan seseorang menghentikan perbuatan tertentu dan lain kali tidak mengulanginya. Dalam dunia pendidikan bukan hal yang asing lagi bahwa peranan hadiah dan hukuman sebagai alat pendidikan atau faktor motivasi
Transfer of Training
Satu hal lagi konsep Thorndike yang perlu diketahui adalah transfer of training. Konsep ini menunjuk pada dapat digunakannya hal yang telah dipelajari untuk menghadapi atau memecahkan hal-hal lain yang serupa atau berhubungan. Adanya tarnsfer of training itu merupakan hal yang sangat penting dalam pendidikan, karena bilaman sekiranya tranfer of training itu tidak ada, maka sekolah hampir saja tidak ada gunanya bagi kehidupan bermasyarakat. Fungsi sekolah justru mempersiapkan calon-calon warga masyarakat.
Karena itu apa yang dipelajari di sekolah harus dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan di luar sekolah. Dengan perkataan lain harus ada transfer of training. Untuk itu yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mengusahakan agar transfer of training itu dapat terjadi secara optimal. Dalam hubungan dengan hal ini teori atau konsep mengenai transfer of training diperlukan.
Transfer of training lebih dikenal dengan theory of idential elements, yang menyatakan bahwa transfer of training akan terjadi bila antara hal yang lama (yang telah dipelajari) dengan hal baru (hal yang akan dipelajari atau dipecahkan) terdapat unsur-unsur yang identik. Oleh karena itu bila kita dapat membaca koran/ majalah, sekalipun disekolah tidak pernah diajarkan, karena huruf-huruf yang dipergunakan di koran/majalah adalah identik dengan huruf yang dipergunakan dalam buku-buku pelajaran di sekolah, kita dapat mempergunakan buku resep masakan karena hurufnya sama dengan huruf-huruf yang dipelajari di sekolah, juga sistem penulisannya mirip dengan sistem pada kamus yang biasa kita pakai di sekolah.
Kesimpulannya, untuk mendapatkan transfer of training yang optimal terletak pada bagaimana memilih bahan yang dipelajari itu agar mengandung kesamaan sebanyak mungkin dengan hal yang nantinya akan dihadapi oleh siswa, baik pada kehidupan sehari-hari maupun pada tingkat pendidikan selanjutnya.
Prosedur Eksperimen
Thorndike membuat eksperimen dengan anak ayam, anjing, ikan, kucing, dan monyet. Namun demikian, ketika beliau masih menjadi mahasiswa dii Harvard, ibu kos tempat beliau tinggal melarangnya untuk menetaskan ayam didalam kamarnya. William James menawarkan basement dirumahnya untuk membantu penelitian Thorndike, tentu saja membuat Mrs. James agak cemas dan membuat anak-anak mereka heboh sekaligus senang.
Prosedur eksperimen khusus mengharapkan tiap-tiap hewan untuk bisa melepaskan diri dari ruang yang diberi batas untuk bisa mencapai makanan. Kotak uji menggunakan sebuah cara tertentu untuk bisa melepaskan diri.
Ketika dibatasi, hewan seringkali memperlihatkan banyak perilaku, termasuk menggurat-gurat, menggigit, mencakar, menggosok-gosok pada bagian sisi kotak. Cepat atau lambat binatang akan bisa melepaskan diri dan bisa mencapai makanan, Dengan melakukan pengurangan secara berulang-ulang maka semakin kecil kemungkinan binatang menunjukkan perilaku yang tidak berhubungan dengan pembebasan diri mereka, sehingga waktu yang dibutuhkan juga semakin sedikit. Perubahan yang paling cepat terlihat pada monyet.
Dalam satu eksperimen, sebuah kotak yang berisi banyak pisang diletakkan di sebelah kurungan tempat monyet tersebut berada. Tigapuluh enam menit dibutuhkan oleh monyet untuk bisa menarik penutup. Dalam percobaan kedua, waktu yang dibutuhkan hanya 2 menit 20 detik (Thorndike, 1911 dalam Nurhidayah, 2005).
Thorndike menyimpulkan dari penelitiannya bahwa respon pembebasan diri secara berangsur-angsur berhubungan dengan situasi stimulus pengetahuan trial-and-error. Respon yang benar secara erangsur-angsur akan “diingat” atau diperkuat melalui usaha yang berulang. Respon yang tidak benar memperlemah atau “dilupakan”. Fenomena ini disebut dengan istilah substitusi respon. Teorinya juga lazim dikenal dengan istilah instrumental conditioning karena pemilihan respon khusus merupakan instrumen di dalam memperoleh imbalan.
Hukum Pengetahuan
Tiga hukum tentang pengetahuan didapatkan dari hasil penelitian sebelumnya. Ketiganya adalah law of effect, law of exercise, dan law of readiness. Law of effect menyatakan bahwa situasi dan kondisi mendukung yang mengikuti suatu respon akan memperkuat hubungan antara stimulus dengan perilaku, sementara itu kondisi yang mengganggu akan memperlemah hubungan. Thorndike kemudian memperbaiki hukum sehingga hukuman yang tidak seimbang dengan imbalan dalam mempengaruhi pengetahuan.
Law of exercise menggambarkan kondisi yang diimplikasikan dalam pepatah “Latihan menciptakan kesempurnaan”. Pengulangan pengalaman, dalam kata yang berbeda, akan mempertinggi probabilitas respon yang benar. Namun demikian, pengulangan dengan tidak adanya kondisi yang mendukung tidak akan meningkatkan pengetahuan (Thorndike, 1913). Diringkas secara singkat, eksekusi suatu tindakan didalam merespon dorongan yang kuat adalah bersifat mendukung, sementara itu penghilangan atas suatu tindakan atau menekannya dalam kondisi lain akan memiliki sifat mengganggu.

No comments:

Post a Comment