..




.

Thursday, February 10, 2011

Sastra Indonesia


Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta. Sastra, yang berarti teks yang mengandung instruksi atau pedoman, dari kata dasar śās- yang berarti instruksi atau ajaran. Dalam bahasa Indonesia, kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada kesusastraan atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Yang biasa digunakan dalam istilah sastra dan sastrawi. Segmentasi sastra lebih mengacu sesuai defenisinya sebagai sekedar teks. Sedang sastrawi lebih mengarah pada sastra yang kental nuansa puitis atau abstraknya. Istilah sastrawan adalah salah satu contohnya, diartikan sebagai orang yang menggeluti sastrawi, bukan sastra. Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral).
Biasanya kesusastraan dibagi menurut daerah geografis atau bahasa. Jadi, yang termasuk dalam kategori Sastra adalah:
·         Novel
·         Cerita/cerpen (tertulis/lisan)
·         Syair
·         Pantun
·         Sandiwara/drama
·         Lukisan/kaligrafi
Sastra Indonesia, adalah sebuah istilah yang melingkupi berbagai macam karya sastra di Asia Tenggara. Istilah "Indonesia" sendiri mempunyai arti yang saling melengkapi terutama dalam cakupan geografi dan sejarah poltik di wilayah tersebut.
Sastra Indonesia sendiri dapat merujuk pada sastra yang dibuat di wilayah Kepulauan Indonesia. Sering juga secara luas dirujuk kepada sastra yang bahasa akarnya berdasarkan Bahasa Melayu (dimana bahasa Indonesia adalah satu turunannya). Dengan pengertian kedua maka sastra ini dapat juga diartikan sebagai sastra yang dibuat di wilayah Melayu (selain Indonesia, terdapat juga beberapa negara berbahasa Melayu seperti Malaysia dan Brunei), demikian pula bangsa Melayu yang tinggal di Singapura.
A.   Sastra Lama
Sastra lama adalah sastra yang berbentu lisan atau sastra melayu yang tercipta dari suatu ujaran atau ucapan. Sastra lama masuk ke indonesia bersamaan dengan masuknya agama islam pada abad ke-13. Peninggalan sastra lama terlihat pada dua bait syair pada batu nisan seorang muslim di Minye Tujuh, Aceh.
Ciri dari sastra lama yaitu :
·         Anonim atau tidak ada nama pengarangnya
·         Istanasentris (terikat pada kehidupan istana kerajaan)
·         Tema karangan bersifat fantastis
·         Karangan berbentuk tradisional
·         Proses perkembangannya statis
·         Bahasa klise
Contoh sastra lama : fabel, sage, mantra, gurindam, pantun, syair, dan lain-lain.
B.   Sastra Baru
Sastra baru adalah karya sastra yang telah dipengaruhi oleh karya sastra asing sehingga sudah tidak asli lagi.
Ciri dari sastra baru yakni :
·         Pengarang dikenal oleh masyarakat luas
·         Bahasanya tidak klise
·         Proses perkembangan dinamis
·         tema karangan bersifat rasional
·         bersifat modern / tidak tradisional
·         masyarakat sentris (berkutat pada masalah kemasyarakatan)
Contoh sastra baru : novel, biografi, cerpen, drama, soneta, dan sebagainya.

2.1 Manfaat Sastra
Pembelajaran sastra penting bagi siswa karena berhubungan erat dengan keharuan. Sastra dapat menimbulkan rasa haru, keindahan, moral, keagamaan, khidmat terhadap Tuhan, dan cinta terhadap sastra bangsanya (Broto, 1982: 67). Di samping memberikan kenikmatan dan keindahan, karya sastra juga memberikan keagungan kepada siswa pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Sastra Indonesia secara umum dapat dipakai sebagai cermin, penafsiran, pernyataan, atau kritik kehidupan bangsa.

2.2 Fungsi Sastra
Fungsi sastra kiranya tidak perlu diragukan lagi. Norman Podhoretz ketika diwawancarai Arwah Setiawan mengemukakan bahwa sastra dapat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap cara berpikir orang mengenai hidup, baik dan buruk, benar dan salah, dan cara hidupnya sendiri dan bangsanya (Soeharianto, 1976: 25). Pendek kata, sastra memberikan berbagai kepuasan yang sangat tinggi nilainya, yang tidak dapat diperoleh dengan cara lain (Moody, 1972: 2). Sastra memberikan pengaruh yang menguntungkan kepada penikmatnya (Barnet-Berman-Burto, 1967: 8).

2.3 Apresiasi Sastra
a.       APRESIASI sastra hakikatnya sikap menghargai sastra secara proporsional (pada tempatnya). Menghargai sastra artinya memberikan harga pada sastra sehingga sastra memiliki ”kapling” dalam hati kita, dalam batin kita. Dengan menyediakan ”kapling” dalam hati untuk sastra, kita secara spontan menyediakan waktu dan perhatian untuk membaca karya sastra. Lama kelamaan dari ”kapling” itu dapat bertumbuhan buah cipta sastra itu dalam berbagai bentuk dan wujudnya sebagai sikap apresiatif terhadap sastra. Apresiasi sastra mengakrabkan kita dengan kehidupan. Mengakrabkan kita dengan kehidupan berarti mendekatkan kita dengan berbagai realitas (kenyataan) yang terjadi dalam kehidupan. Akrab dengan realitas kehidupan itu sudah dengan sendirinya, sebab kita ada dalam kenyataan kehidupan itu. Yang sudah dengan sendirinya itu seringkali tidak disadari. Pernahkah kita membayangkan kehidupan ikan sebelum ikan itu dikalengkan sebagai makanan yang siap saji? Di sinilah persoalannya. Kita ada bersama realitas kehidupan itu, tetapi kita seringkali alpa menyadarinya. Kita cermati sajak berikut ini.

b.      Apresiasi sastra mengakrabkan kita dengan kehidupan. Mengakrabkan kita dengan kehidupan berarti mendekatkan kita dengan berbagai realitas (kenyataan) yang terjadi dalam kehidupan. Akrab dengan realitas kehidupan itu sudah dengan sendirinya, sebab kita ada dalam kenyataan kehidupan itu. Yang sudah dengan sendirinya itu seringkali tidak disadari. Pernahkah kita membayangkan kehidupan ikan sebelum ikan itu dikalengkan sebagai makanan yang siap saji? Di sinilah persoalannya. Kita ada bersama realitas kehidupan itu, tetapi kita seringkali alpa menyadarinya. Kita cermati sajak berikut ini.
c.       Mengapa apresiasi sastra itu penting? Kenyataan berikut menunjukkan hal itu. Pengajaran bahasa di SD pun kini ”didampingi” dengan apresiasi sastra. Penyusun kurikulum pembelajaran bahasa sudah mencantumkan secara eksplisit apresiasi sastra itu. Kita menghadapi kesulitan bagaimana apresiasi sastra itu diajarkan kalau yang harus melaksanakannya belum memiliki sikap apresiatif terhadap sastra.
Di awal karangan ini sudah ditegaskan ihwal apresiasi sastra itu sebagai sikap menghargai sastra. Menghargai sastra berarti memberikan harga kepada sastra. Dengan memberikan harga kepada sastra itu, kita berusaha menjadikan sastra itu bermakna bagi kehidupan. Hal ini berarti bahwa kita yakin dan percaya bahwa sastra itu berguna. Tanpa kepercayaan dan keyakinan itu tidak mungkin terwujud sikap apresiatif terhadap sastra.
d.      Bagaimana apresiasi sastra itu diwujudkan secara konkret? Yang pertama dan utama adalah kita membaca teks sastra itu. Kalau sastra itu sastra lisan, kita mendongengkannya kembali. Peribahasa, misalnya, adalah salah satu wujud sederhana dan ringkas yang tergolong sastra. Kita mulai saja dengan mengingatkan anak-anak akan peribahasa itu. Berikut ini beberapa contoh.


2.5 Metode Pengajaran Sastra
Proses pembelajaran sastra melibatkan guru sastra, pihak yang mengajarkan sastra, dan siswa, subjek yang belajar sastra. Masalah di atas dapat disederhanakan menjadi bagaimana upaya yang seyogianya ditempuh yang memungkinkan siswa dapat belajar sastra dengan seefektif mungkin.
Tulisan sederhana ini akan menawarkan suatu metode -- sebagai suatu alternatif -- yang tampaknya cukup efektif digunakan oleh guru dalam pembelajaran sastra. Hanya saja, perlu diingat, jika kita berbicara masalah metode kita tidak dapat lepas dari masalah pendekatan atau ancangan (approach) yang menurunkan metode (method). Untuk selanjutnya, suatu metode ternyata akan menyarankan penggunaan teknik-teknik tertentu pula. Dengan demikian, secara hirarkis akan dikemukakan adanya tiga tataran, yaitu: pendekatan (approach), metode (method), dan teknik (technique).

Pendekatan, Metode, Teknik

Dalam rangka metode sebenarnya terkandung beberapa istilah, yaitu pendekatan, metode, dan teknik (Broto, 1982: 19). Kenyataan menunjukkan bahwa para guru bahasa pada umumnya dan guru sastra pada khususnya masih menggunakan ketiga-tiganya secara kacau.
Pendekatan, metode, dan teknik mempunyai hubungan hirarki (Anthony, 1963). Hubungan itu menyatakan bahwa teknik merupakan hasil dari (pelaksanaan) suatu metode yang selalu konsisten dengan pendekatan. Pendekatan bersifat aksiomatik, metode bersifat teoretis prosedural, dan teknik bersifat teknis pelaksanaan. Dalam hubungan ini, pengenalan terhadap ketiga tataran itu sedapat mungkin akan langsung dikaitkan dengan pembelajaran sastra.

a) Pendekatan Apresiatif
 Pendekatan merupakan latar belakang filosofis tentang pokok-pokok yang hendak diajarkan (Broto, 1982: 9-10). Pendekatan berupa seperangkat asumsi yang berhubungan dengan hakekat bahasa dan belajar-mengajar bahasa (Anthony, 1963; Baradia, 1985), merupakan komitmen terhadap pandangan tertentu (Strevens, 1983: 23).
Pada bagian muka sudah disinggung beberapa pengertian tentang sastra, yang secara umum dapat dikatakan bahwa sastra tidak lain dari hasil kegiatan kreatif manusia dalam mengungkapkan penghayatannya dengan menggunakan bahasa (Rusyana, 1982: 5). Sastrawan memadukan daya pikir, daya rasa, dan daya imajinasinya -- penghayatan -- untuk menciptakan sesuatu yang baru. Kegiatan tersebut merupakan kegiatan kreatif, yang hasil penghayatan itu selanjutnya dijelmakan dengan media bahasa.
Sastra dalam keutuhan bentuknya menyentuh perilaku kehidupan kaum terdidik yang tentunya dapat mewarnai liku-liku hidup yang bersangkutan (Moody, 1972). Paling tidak ada empat manfaat yang dapat diambil dari belajar sastra, yaitu menunjang keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan rasa karsa, dan membentuk watak (Gani, 1980: 2). Pembelaran sastra mempunyai peranan besar dalam mencapai berbagai aspek dari tujuan pendidikan dan pengajaran, seperti aspek pendidikan susila, sosial, perasaan, sikap penilaian, dan keagamaan (Rusyana, 1982: 6).
Kenyataan itu tampak menyarankan bahwa proses pembelajaran sastra di sekolah seyogianya disajikan dalam bentuk apresiasi, dalam pengertian lebih mengutamakan atau mendahulukan kegiatan apresiasinya daripada pengetahuan sastranya. Tujuan (utama) pembelajaran sastra adalah mengapresiasi nilai-nilai yang terkandung dalam sastra (Rusyana, 1984: 314), yaitu pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap nilai sastra dan kegairahan kepadanya, serta kenikmatan yang timbul sebagai akibat dari semua itu. Untuk mendapatkan kenikmatan yang mendalam, sudah barang tentu juga perlu pemahaman terhadap sastra. Pengetahuan sastra meliputi teori, sejarah, esai, dan kritik sastra.
Dalam karya sastra terkandung pengalaman manusia yang indah mendalam. Pengenalan yang semakin mendalam dan hasrat serta jawaban kita terhadap pengalaman hidup yang terkandung dalam sastra itulah yang dapat disebut sebagai apresiasi sastra (Rusyana, 1982: 7).
Apresiasi berisikan kegiatan atau usaha merasakan dan menikmati hasil-hasil karya seni (Soeharianto, 1981: 15) termasuk di dalamnya karya sastra, mengandung arti mempersepsi dan mengenal dengan cukup luas suatu karya sastra (Ahmadi, 1980: 12), dimaksudkan mengerti, memahami, dan mengenal secara intuitif tentang kebenaran dan kualitas estetik karya sastra. Selama hubungan dengan karya sastra belum atau kurang menggambarkan kegiatan itu, belumlah dapat dikatakan bahwa kita sudah mengapresiasi karya sastra. Dengan tegas dikatakan bahwa apresiasi sastra merupakan kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra (Effendi, 1974: 18).
Mengadakan pendekatan terhadap sastra, sekali lagi, berarti mengapresiasi nilai-nilai yang terkandung dalam sastra. Apresiasi berisikan upaya merasakan dan menikmati karya sastra. Pendekatan apresiatif bertolak dari sastra sebagai hasil kegiatan kreatif manusia dalam mengungkapkan penghayatannya dengan menggunakan bahasa, yang kemudian didukung titik berat pembelajaran sastra yang diletakkan pada terbinanya kemampuan siswa mengapresiasi sastra.

b. Metode Imersi
      Ada sedikit kekacauan dalam istilah yang digunakan untuk menunjukkan perbedaan antara metode dan pendekatan. Dalam banyak hal, metode digunakan dengan makna yang sama dengan istilah pendekatan (Strevens, 1983: 23). Sebagai ilustrasi, penamaan seperti audio-lingual method, direct method semestinya dipakai untuk menunjukkan pendekatan.
Metode merupakan cara yang dalam fungsinya adalah alat untuk mencapai tujuan (Surakhmad, 1980: 75). Makin baik metode akan makin efektif pula pencapaian tujuannya. Metode tidak lain dari rencana keseluruhan dalam menyajikan materi bahasa secara teratur (Anthony, 1963; Baradja, 1985). Sangatlah mungkin dalam suatu pendekatan akan terdapat beberapa metode.
Pembelajaran sastra dilaksanakan dengan pengutamaan pada kegiatan apresiasi sastra. Hal itu menyarankan agar siswa diperkenalkan atau dipertemukan dengan karya sastra secara langsung dan sebanyak-banyaknya. Karya-karya sastra itu tentu sudah dipilih oleh guru dengan berbagai pertimbangan, di antaranya pertimbangan faktor usia, bahasa, kematangan jiwa, dan prioritas.
Guru sastra bertugas memberi siswa kesempatan untuk mengembangkan sendiri kemampuan apresiasinya, bersifat membantu menyajikan lingkungan dan suasana yang kondusif, misalnya menyediakan bahan bacaan sastra dan mendorong siswa senang membaca. Siswa hendaknya didorong agar berkenalan dengan karya sastra, mengadakan kontak dan dialog langsung dengan karya dengan cara membaca dan menikmatinya. Untuk seterusnya dapat saja – bahkan sangat positif — diadakan ruang pembahasan atau diskusi, misalnya tentang pengalaman-pengalaman yang terkandung di dalamnya, tokoh-tokoh cerita, diksi, dan seterusnya.
Kegiatan menggauli karya sastra dilakukan secara langsung, dimaksudkan bahwa siswa itu sendiri harus secara langsung membaca bermacam sajak, cerita, atau drama dari berbagai sastrawan dan zaman, atau secara langsung mendengarkan sajak dideklamasikan atau dibacakan (poetry reading) dan menyaksikan drama yang dipentaskan. Agar siswa memperoIeh pengertian yang sebaik-baiknya tentang wujud dan fungsi karya sastra dan dapat menghargainya secara wajar, kegiatan tersebut – membaca, mendengarkan, menyaksikan — harus dilakukan secara sungguh-sungguh dan sebanyak-banyaknya.
Kiranya perlu diingatkan di sini bahwasanya kegiatan apresiasi sastra belum berhenti hanya sampai di situ saja. Demi sempurnanya kegiatan apresiasi memang masih perlu diikuti dengan pemberian pengetahuan tentang sastra. Yang terakhir ini dapat disebut kegiatan tak langsung, artinya siswa tidak langsung menjamah karya sastranya.
Cara langsung merupakan cara yang paling diutamakan, yang akan ditingkatkan oleh hadirnya cara yang tak langsung tersebut. Sesudah siswa bergaul, berdialog langsung dan mendalam dengan karya -- mengenal, memahami, menganalisis, menghayati -- mereka diperkuat dengan pengetahuan tentang sastra. Kecuali itu, dua kegiatan lagi sebagai pelengkap -- jika masih dimungkinkan -- yaitu kegiatan dokumentasi dan kegiatan kreatif (Effendi, 1974: 19). Kegiatan dokumentasi berupa kegiatan mengumpulkan dan menyusun buku-buku dan majalah-majalah sastra, membuat kliping, dan sebagainya, sementara itu, kegiatan kreatif berupa kegiatan belajar atau berlatih mencipta sendiri sajak, cerpen, atau drama kecil.
Metode Imersi (Immersion Method) yang ditawarkan di sini berangkat dari pandangan bahwa dalam pelaksanaan kegiatan apresiasi sastra (baca: pembelajaran sastra) siswa layaknya dibenamkan ke dalam sesuatu atau dibenami sesuatu. Siswa dibenamkan ke dalam sebuah dunia yang sarat dengan aneka ragam karya sastra (plus pengetahuan sastra). Dapat juga dikatakan bahwa siswa dibenami dengan beronggok-onggok karya sastra (plus pengetahuan sastra).

c) Teknik Induksi
Suatu teknik harus konsisten dengan metode dan sesuai pula dengan pendekatannya. Teknik berkaitan dengan strategi yang benar-benar terjadi di ruang kelas (Anthony, 1963; Baradja, 1985).
Suatu strategi yang efektif dan efisien akan tercipta bila strategi itu dapat dengan mudah diterapkan dan dapat menunjang prestasi belajar siswa yang memadai dan langgeng (Natawidjaja, 1983: 2). Keberartian sesuatu yang dipelajari siswa untuk dirinya sendiri itulah yang menentukan kadar kelanggengan prestasi belajar siswa. Dalam hal ini peran serta aktif dari pihak siswa sendiri dalam kegiatan pembelajaran ikut berpengaruh terhadap keberartian bahan pembelajaran.
Jenis teknik belajar-mengajar dapat ditimbulkan dari metode tertentu (Broto, 1982: 23). Teknik merupakan pelaksanaan dari proses pembelajaran. Teknik biasanya ditandai dengan penggunakan alat bantu atau media tertentu yang diperlukan.
Pembelajaran sastra yang berangkat dari pendekatan apresiatif (appreciative approach) dan memilih metode imersi sebagai suatu alternatif, akhirnya menggiring kita untuk menentukan dan mengangkat satu teknik yang dirasa paling sesuai. Teknik induksi tampaknya sangat sesuai dan mendukung kegiatan ini.
Teknik induksi tidak hanya menuntut peran serta aktif siswa, tetapi lebih jauh daripada itu, mendorong dan memberi kesempatan yang seluas-luasnya dan sebanyak-banyaknya kepada siswa untuk mendekati sendiri karya sastra, menggauli secara langsung, dan akhirnya diharapkan mampu menikmati, menghayati, dan menghargai karya sastra itu sendiri. Guru hanya bersifat merangsang, memancing, mendorong, dan mengarahkan kegiatan itu. Yang terjadi selama ini, tampaknya para guru sastra di lapangan cukup dengan membuat siswanya paham dan mengerti karya sastra melalui penjelasan atau informasi, tanpa ada kontak langsung siswa-karya. Siswa dijejali sekian banyak teori dan sejarah sastra. Dengan demikian, siswa banyak tahu dan paham (baca: hafal) pengetahuan sastra, tetapi tidak atau kurang mampu mengapresiasi karya. Tujuan utama pembelajaran sastra masih jauh dari terpenuhi. Kegiatan macam itu jelas kegiatan yang sangat tidak apresiatif.
Teknik induksi menghendaki lain. Siswa diberi kesempatan secara langsung bergaul intim dan berdialog dengan karya. Segala sesuatu yang diharapkan dapat dicapai oleh siswa dalam pergaulan dan dialog biarlah ditemukan sendiri oleh siswa. Tentu saja, hal itu tidak terlepas sama sekali dari bimbingan guru. Yang penting guru tidak bersikap menggurui dan menyuapkan sesuatu yang tinggal telan saja. Tidaklah mungkin seseorang dapat merasakan kenikmatan sesuatu hanya dengan diberitahu orang lain tanpa melakukan kontak langsung secara intim dan berdialog akrab dengan sesuatu itu sendiri.
Penamaan induksi untuk teknik ini sesungguhnya meminjam istilah dari bidang logika. Seperti diketahui, terdapat dua cara penarikan kesimpulan, yaitu logika induktif dan logika deduktif (Suriasumantri, 1984: 46). Logika induktif – yang dipakai di sini — erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sebagai suatu proses tertentu, induksi berupaya menyimpulkan pengetahuan yang ’umum’ atau universal dari pengetahuan yang ’khusus’ atau partikular (Ofm, 1983: 40). Induksi merupakan cara berpikir dengan jalan menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual.
Implikasinya dalam pembelajaran sastra, seperti sudah dikemukakan terdahulu, guru bertindak membimbing dan mengarahkan siswanya agar berhasil menemukan sendiri hal-hal khusus, ciri-ciri khusus, dan seterusnya, untuk kemudian dibimbing ke arah penarikan kesimpulan yang bersifat umum tentang karya sastra itu.
Sebagai ilustrasi, mengajarkan pantun, misalnya, teknik yang cenderung selalu digunakan para guru sebagai berikut. Pertama, guru memberikan pengertian, batasan, atau definisi pantun. Berikutnya diberikanlah ciri-ciri pantun atau mengapa bentuk itu disebut pantun. Akhirnya, disajikan contoh-contoh pantun. Langkah tersebut masih ditambah lagi dengan model penyajian dikte oleh guru. Langkah tersebut sangat tidak apresiatif, sehingga hasilnya pun berupa pengetahuan hafalan belaka.
Dengan teknik induksi yang merupakan pembalikan langkah-langkah tersebut di atas, siswa diberi kesempatan langsung berhadapan, berdialog, dan menikmati karya puisi lama itu. Dengan bimbingan guru siswa diajak mampu menemukan Ietak-letak keindahannya, ciri-ciri bentuknya, yang akhirnya sampai pada penyimpulan bahwa karya puisi itu adalah pantun.
Yang juga perlu diingat bahwa pembicaraan atau pembahasan tidak boleh hanya terbatas pada unsur bentuknya saja. Yang lebih penting justru pembahasan terhadap unsur isinya. Pembicaraan dapat saja berkisar pada pokok masalah yang diungkapkan, pendapat pengarang atau penyair tentang pokok masalah tersebut, perasaan, nada bicara, amanat yang terkandung, peristiwa yang dibayangkan terjadi di belakang karya, dan seterusnya.
Dalam pelaksanaannya dapat saja teknik induksi diramu dengan teknik-teknik yang lain, umpamanya brainstorming, diskusi, dan lain-lain yang relevan. Yang tetap harus diingat, guru tidak boleh lupa pada prinsip-prinsip CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Melaksanakan CBSA berarti guru melaksanakan suatu strategi pembelajaran yang menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental, intelektual, dan emosional guna memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduan antara matra kognitif, afektif, dan psikomotorik (Natawidjaja, 1983: 19).

No comments:

Post a Comment